Senin, 01 Desember 2014

KEARIFAN LOKAL SUKU SASAK DALAM MENJAGA KELESTARIAN HUTAN DAN MATA AIR DI HUTAN ADAT MANDALA, LOMBOK UTARA



Masyarakat adat suku sasak di Lombok memandang hutan pada dasarnya terbagi dalam dua kawasan yakni pawang dan gawah. Pawang merupakan kawasan hutan yang dikeramatkan dimana terdapat sekumpulan pepohonan besar yang biasanya terdapat sumber mata air sehingga tidak dapat diganggu sama sekali. Sedangkan kawasan gawah merupakan daerah dimana terdapat pepohonan dan aneka satwa sebagai tempat berburu dapat dikelola dan dipetik hasilnya secara lestari atas ijin dari Pemangku.
Dalam kesederhanaan cara pandang tersebut terkandung kearifan terhadap kelestarian lingkungan yang mendalam. Penggolongan suatu kawasan hutan sebagai pawang merupakan mekanisme untuk melindungi dan melestarikan fungsi hutan sebagai water catchment area (daerah tangkapan air) yang termasuk sebagai kawasan yang dilindungi. Sedangkan Gawah merupakan kawasan hutan yang menjadi salah satu sumber penghidupan yang dimanfaatkan dan diambil hasilnya secukupnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan jauh dari niatan eksploitasi untuk dijual ke pasar dan komoditisasi.
Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Lombok Utara (KLU), terdapat 36 lokasi hutan adat di KLU. Luas hutan adat itu 380,23 hektar. Dari seluruh hutan adat ini, hampir semuanya memiliki mata air. Mata air yang tetap terjaga kelestariannya.
Pawang mandala merupakan salah satu hutan tutupan adat yang artinya dilindungi secara adat dengan adanya Awiq-awiq. Hutan adat mandala ini terletak kaki gunung rinjani tepatnya di Desa Bayan, Kecamatan Baya, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Kata Mandala menurut beberapa tokoh adat setempat, berasal dari dua suku kata Ma dan Bendala, Ma berarti Pemberian dan Bendala berarti tempat menyimpan sesuatu (sejenis peti) jika digabung menjadi Mendala yang berarti Pemberian dari Tuhan berupa suatu tempat menyimpan debit air yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat disekitarnya.
Hutan adat Mandala diyakini masyarakat Bayan sebagai tempat sakral, karena di salah satu bagian terdapat Mesjid Bakeq atau mesjidnya para jin. Selain itu sumber mata air yang ada di Mandala diyakini mempunyai hubungan langsung dengan air yang berada di Danau Segara Anak, Gunung Rinjani. Gunung Rinjani merupakan jatung kehidupan masyarakat di Pulau Lombok, karena seperti diketahui, 90 % mata Air yang berada di Pulau Lombok itu terdapat di hutan kawasan Gunung Rinjani. Jadi air dari Gunung Rinjani ini menjadi sumber kehidupan di Pulau Lombok. . Dengan luas yang tidak terlalu besar yaitu 1359 m2, tetapi hutan adat mandala memiliki banyak sumber mata air.  Sumber mata air yang ada di hutan adat ini, oleh masyarakat adat Bayan masih disakralkan, karena termasuk salah satu sumber mata air dari sembilan mata air yang diyakini sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat suku sasak.
Keberadaan Hutan Mandala kaya dengan nilai-nilai luhur budaya. Salah satunya adalah konsep “Pemalik” yaitu ketika seseorang hendak masuk ke hutan secara sembarangan. Larangan memasuki hutan Mendala secara sembarangan, yang bila dilanggar akan mendapat musibah atau gangguan di kemudian hari. Dan apabila hutan Mandala dirusak serta kayunya ditebang, maka perusak tersebut diwajibkan membayar denda adat yang harus dipenuhi. Itu sebabnya mengapa Hutan Mandala tetap bertahan dari masa ke masa dan memberi air dan berbagai manfaat lainnya menjadikannya pemberian Tuhan yang berharga dan memiliki arti bagi kehidupan masyarakat Bayan.
Masyarakat suku sasak di bayan punya cara unik dalam menjaga ketersediaan dan kelestarian mata air dan hutan. Jika banyak daerah lain mengerahkan tenaga pengaman dalam jumlah besar dari berbagai satuan, mulai dari pohut, polisi, bahkan tentara, lain halnya dengan daerah ini. Di kawasan hutan adat Mandala, terdapat lembaga adat untuk menjaga kelestarian hutan dan sumber air. Lembaga adat yang terdiri dari Pemangku Adat yang bertugas sebagai pemimpin gundem (musyawarah) adat, lalu ada Penghulu Adat, dan Pembekel Adat yang bertugas memberikan pendapat, masukan, usulan pada Pemangku Adat terkait adanya persoalan di dalam hutan adat itu. Sebagai salah satu produk “Undang-Undang” dalam pengelolaan hutan adat ini, masyarakat adat Bayan telah membuat Awiq-Awiq Hutan Adat Mandala. Soal keamanan hutan adat, ada Lang-Lang Jagad yang bertugas seperti polisi kehutanan. Ada juga Inan Air, orang yang memimpin saat selamatan mata air. Aturan-aturan dalam pengelolaan hutan adat itu memang normatif, namun sanksi bagi pelanggaran itu justru yang menjadi paling berat. Awiq-awiq adat yang kuat dalam menjaga dan melestarikan sumber mata air yang ada, dan awiq-awiq (aturan adat) tersebut wajib ditaati oleh semua masyarakat adat atau masyaarakat lainnya. Ada lima isi awiq-awiq yang dibuat antara lain : Pertama, Dilarang mengambil / memetik, mencabut, menebang, menangkap satwa dan membakar pohon/ kayu-kayu yang mati yang terdapat dalam kawasan hutan adat. Kedua, Dilarang menggembala ternak di sekitar pinggir dan didalam kawasan hutan adat yang dapat menyebabkan rusaknya flora dan fauna hutan. Ketiga, Dilarang mencemari/mengotori sumber-sumber mata air didalam kawasan hutan adat. Keempat, Dilarang melakukan meracuni Daerah Aliran Sungai (DAS) menggunakan fottas, decis, setruman dan lain-lainnya, di sekitar dan di luar kawasan hutan adat, yang dapat menyebabkan musnah/terbunuhnya biotik-biotik yang hidup di sungai. Kelima, Bagi setiap pemakai/pengguna air baik perorangan maupun kelompok diwajibkan membayar iuran/sawinih kepada pengelola hutan adat dan sumber mata air.
Untuk menegakkan dan menjalankan awiq-awiq yang dibuat dengan konsep adat (hukum adat) dan kearifan lokal ini, bagi yang melanggar semua atau salah satu dari awiq-awiq itu, maka dikenankan sanksi yang wajib dipatuhi oleh siapapun yang melanggar. Jika aturan tersebut dilanggar maka hukum adat akan bertindak dengan cara pemangku dan masyarakat adat berkumpul berdasarkan laporan dari saksi. Kemudian, pelaku dipanggil untuk dimintai keterangan. Jika seseorang terbukti bersalah, masyarakat adat akan mengenakan sanksi yang pantas. Jika ada seseorang yang meracuni hutan  dengan berbagai bahan kimia hukumannya adalah menyowok dan denda uang bolong sebanyak 1000 buah. Istilah menyowok yaitu upacara ritual dengan memotong hewan ternak baik kerbau maupun kambing sesuai dengan ringan beratnya pelanggaran dan dilengkapi dengan sajian eteh-eteh yaitu beras, kelapa, bumbu-bumbuan dan dimasak dengan daging hewan yang dipotong dengan sesaji berupa, sirih pinang, dan kapur sirih, pelanggarnya diolesi darah hewan yang dipotong dicampur kelapa parut dan dioleskan didahi. Hukuman untuk orang yang menanam hutan dengan cengkeh dan kelapa hukumannya adalah menyowok dan penebang tanaman yang telah ditanamnya. Jika seseorang berternak didalam hutan  maka ternak dikeluarkan  dari dalam hutan. Bagi yang mengotori pawang hukumannya membersihkan hutan dari benda-benda yang mencemari lingkungan. Untuk yang melakukan penggalian barang tambang maka dikenakan hukuman berupa menyowok menampel dan denda uang bolong sebanyak 10000 buah dan menghentikan penggalian. Jika sanksi tidak dipatuhi bagi si pelanggar adalah, dikucilkan atau diasingkan dan tidak diakui sebagai masyarakat adat.
Keharmonisan antara masyarakat adat dengan hutan membuat hutan dan mata air tetap lestari. Berkat terjaganya hutan adat mandala, melalui mata air yang ada di hutan masyarakat dapat mengairi 112 Ha sawahnya dan menjadi sumber air bersih di bayan dan 3 desa lainnya. Indahnya hutan yang berada di kaki gunung rinjani ini menjadikan hutan adat mandala dijadikan tujuan wisatawan local maupun internasional. Bukan hanya pesona hutan serta kesegaran mata airnya menjadikan tempat ini wajib dikunjungi wisatawan, hutan ini juga dijadikan hutan wisata edukasi dengan menyuguhkan tradisi-tradisi masyarakat bayan yang tetap terelihara hingga sekarang.  Wujud syukur masyarakat terhadap kelestarian hutan dan melimpahnya ketersediaan air yang ada di hutan mandala, pada setiap tahunnya diadakan selamatan Mata Air  atau Roah Pengembulan dihadiri oleh seluruh petani pemakai air dan secara sukarela mereka membawa masing-masing seekor ayam dan bahkan kerbaupun kadang di bawa untuk disemblih di mata air dan sebagai hidangan untuk dinikmati bersama-sama sampai acara selamatan itu ditutup oleh kiayi dengan doa-doa sebagai rasa syukur kehadirat Allah SWT.
Konsep pelestarian hutan dan mata air di hutan adat mandala berlandaskan kearifan lokal masyarakan suku sasak bayan menjadikan hutan dan mata air tetap terjaga hingga saat ini. Kelestarian yang tetap terjaga selama tradisi – tradisi di masyarakat tetap terpelihara. Kearifan lokal masyarakat adat di bayan dalam menjaga hutan dan mata air, menjadikan Mata air Mandala, Pemenang I Lomba Perlindungan Mata Air (Permata) tingkat Nasional pada tahun 2012. Pengelolaan Hutan Adat Mandala merupakan wujud hubungan suku sasak bayan dengan lingkungannya, yang menghargai dan menjaga keberadaannya sehingga memberi manfaat yang besar bagi Masyarakat Bayan.